APLOG - News Angkasa Pura Logistic

News, Feb, 22, 2022

Membangun Ekosistem Logistik Indonesia

PEMBANGUNAN infrastruktur yang menjadi agenda utama pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai membawa hasil. Interkoneksi antar-kota dan antar-pulau terus meningkat seiring pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara. Ada baiknya kini kita mendiskusikan bagaimana menempatkan agenda pembangunan ekosistem logistik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari usaha pemerataan ekonomi nasional.

Kita tentu menerima fakta sekaligus anugerah Tuhan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Walaupun situasi semakin membaik, kita perlu mencatat sejumlah masalah pemerataan infrastruktur dan akses yang sangat vital dalam membangun ekosistem logistik nasional.

Jika kita kelompokkan, logistik nasional memiliki empat masalah utama, yakni jumlah, kapasitas, kondisi atau kualitas, serta penyebarannya. Laporan terakhir Bank Dunia yang terangkum dalam Logistics Performance Index (LPI) 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat 46 dunia dengan skor 3,15 (dalam skala 1-5). Tak perlu membandingkan dengan Singapura yang telah lama dikenal sebagai salah satu negara logistik terbaik, tapi kita perlu setidaknya melakukan benchmark dengan Thailand (peringkat 32, skor 3,41), Vietnam (peringkat 39, skor 3,27) dan Malaysia (peringkat 41, skor 3,22).

Aspek-aspek yang diukur dalam LPI adalah input dalam rantai pasok (supply chain), yakni kepabeanan, infrastruktur, dan pelayanan; dan kinerja supply chain yang meliputi waktu, biaya, dan keandalan (reliability). Jika kita zoom ke area infrastruktur, makin tampak ketertinggalan skor Indonesia (2,89) dibanding Thailand (3,14), Vietnam (3,01) dan Malaysia (3,15).

Tentu kita menunggu laporan yang lebih mutakhir dari Bank Dunia dan lembaga internasional kredibel lainnya untuk mengukur bagaimana program infrastruktur Presiden Jokowi dapat mengangkat kinerja logistik Indonesia serta mempelajari bagaimana dampak pandemi COVID-19 terhadap kondisi logistik dunia. Dampak dari belum idealnya ekosistem logistik kita adalah mahalnya biaya logistik.

Padahal kita tahu, biaya logistik yang ekonomis tidak hanya soal memberi keuntungan bagi pelaku usaha, namun menjamin keadilan dan pemerataan akses terhadap bahan pokok yang penting bagi hajat hidup rakyat. Data menunjukkan, biaya logistik Indonesia tertinggi di Asia Tenggara, yakni 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019. Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia memprediksi pada 2020 biaya logistik turun menjadi 21,3 persen dari PDB. (Kontan.com, 31 Oktober 2021). Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah ingin menekan biaya logistik nasional menjadi 17 persen dari PDB sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. (Tempo.co, 21 Maret 2021).

Digitalisasi & kolaborasi

Perkembangan ekonomi digital turut menyumbang geliat sektor logistik, khususnya selama pandemi COVID-19. Pada saat yang sama, sektor logistik mengalami digitalisasi dalam banyak mata rantainya. Situasi yang berkembang simultan ini merupakan momentum untuk terus memperkuat sektor logistik nasional. Pemerintah telah lama menunjukkan komitmen membangun ekosistem logistik nasional melalui cetak biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas) melalui Perpres No. 26 tahun 2012.

Seiring perkembangan waktu, banyak catatan dan usulan perbaikan. Mengingat “usia” Perpres tersebut dan banyaknya perkembangan selama hampir satu dekade, ada baiknya kita memulai proses merevisi atau mempertajam cetak biru menjadi tonggak usaha bersama membangun ekosistem logistik nasional yang adaptif dan komprehensif. Langkah awal membangun ekosistem sebenarnya sudah muncul dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional. Namun sifat Inpres memiliki keterbatasan karena banyak sektor-sektor lain yang diatur oleh peraturan yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia berada lebih tinggi, seperti UU Perkeretaapian, UU Pelayaran, atau UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Perkembangan menarik adalah komitmen pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk meneruskan penyusunan cetak biru Sislognas. Logistik untuk e-commerce juga telah menjadi salah satu fokus kajian, khususnya mengenai efisiensi biaya dan efisiensi operasional mengingat luasnya negara kita. Tingginya pengiriman dari kota ke desa dan dari barat ke timur Indonesia, tapi tidak sebaliknya, merupakan salah satu tantangan utama yang akan dipecahkan dalam diskusi bersama para pelaku usaha. Lebih lanjut, pemerintah membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari pihak dunia usaha dan akademisi dalam membangun cetak biru ekosistem logistik nasional.

Dukungan teknologi dari swasta akan membantu ekosistem yang lebih adaptif, terutama meningkatkan kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah onboarding ke e-commerce dan marketplace dalam manajemen stok dan skema pengiriman yang lebih kompetitif. Kolaborasi ini penting karena perubahan sosial, perubahan model bisnis, dan digitalisasi yang mengubah sektor logistik akan terus berlangsung. Model gig economy atau sharing economy, omnichannel logistics, beriringan dengan perkembangan artificial intelligence, robotics, dan automation adalah ruang-ruang inovasi yang perlu dijelajahi oleh seluruh pemangku kepentingan logistik nasional.

Dengan tiga pilar di atas, tata kelola dan kelembagaan yang kokoh, kolaborasi pemerintah dan swasta yang dinamis, serta adaptasi teknologi yang difasilitasi iklim bisnis yang sehat, kita bisa berharap ekosistem logistik nasional akan lebih kuat lagi dan memberi kontribusi lebih bagi Indonesia, khususnya pada perekonomian ekonomi digital.

Sumber: https://money.kompas.com/read/2022/02/18/073000226/membangun-ekosistem-logistik-indonesia-?page=3.
 

Related News

News, Jan, 06, 2020